Dahlia Irwan
Semenjak
ditandatanganinya kesepakatan mengenai perdagangan dan tarif, GATT, pada April
1994 di Marrakesh, Maroko, maka secara resmi muncullah sebuah era baru, era
perdagangan bebas, yang sangat identik dengan globalisasi. Meskipun sebenarnya
istilah ini sudah lumayan usang, namun kosakata globalisasi kini menjadi mantra
yang mampu menghipnotis banyak orang. Banyak orang menganggap, globalisasi
identik dengan perkembangan teknologi. Begitu mendengar istilah globalisasi
pastilah kita selalu mengasosiasikannya dengan teknologi informasi, perusahaan
multinasional, dan komunikasi via satelit. Sedangkan kalangan pemerintah,
sering berkoar-koar bahwa globalisasi membawa berkah berupa modal asing, yang
kemudian menjelma menjadi lapangan pekerjaan.
Globalisasi
sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke lima belas. Yakni semenjak dimulainya
penjelajahan bangsa-bangsa Eropa untuk mencari dunia baru, dalam kerangka
imperialisme kuno. Pada perkembangannya, globalisasi mengalami transformasi
bentuk, wujud, ukuran dan tujuan, meski masih dalam taraf kemiripan. Dalam
dekade terakhir kata globalisasi tidak hanya menjadi konsep ilmu pengetahuan
sosial dan ekonomi, tetapi juga menjadi jargon politik, ideologi pemerintah,
dan hiasan bibir masyarakat awam di seluruh dunia. Globalisasi memang
menjanjikan kesejahteraan bagi umat manusia, akan tetapi dalam praktiknya,
globalisasi malah banyak menimbulkan ketidakadilan sosial, sebab secara
ideologis, globalisasi sebenarnya berakar dari faham neoliberalisme.
Globalisasi dimengerti sebagai hegemoni negara-negara modal terhadap Negara
Dunia Ketiga. Guna membenarkan eksistensi dari proses global ini, secara
politis globalisasi didukung oleh ideologi pasar bebas, di mana modal, tenaga
kerja, dan komoditas perdagangan, bergerak tanpa hambatan fiskal antara satu
negara dengan negara lainnya.
Secara legal
formal, proses ini diperkuat oleh lahirnya IMF, Bank Dunia, dan WTO. WTO
bertindak sebagai institusi utama proyek globalisasi, organ ini dimaksudkan untuk
mengatur sistem perdagangan internasional secara masif, dengan tujuan untuk
meliberalisasi pasar. Upaya ini dilakukan melalui dorongan kuat kepada
anggota-anggotanya untuk terintegrasi ke dalam pasar bebas. Melalui WTO, Negara
Maju memaksa Negara Berkembang untuk menerapkan kebijakan atau ideologi
globalisasi dalam kebijakan nasional mereka. Agar supaya negara pemilik modal
bisa dengan leluasa mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi yang ada di
Negara-negara Dunia Ketiga tersebut.
WTO (World
Trade Organization ) merupakan sebuah organisasi yang mengatur dasar legal
sistem perdagangan multilateral dunia. WTO yang berdiri sejak tanggal 1 januari
1995 ini telah memiliki anggota sebanyak 147 negara termasuk negara Indonesia.
Berdirinya WTO menghendaki adanya sebuah keterbukaan antar pihak-pihak yang
terlibat dalam perdagangan internasional, sehingga akan dapat dihindari
perilaku-perilaku curang diantara mereka. Akan tetapi, pada kenyataannya,
pendirian WTO justru sekedar dimanfaatkan oleh segelintir kelompok dan negara
saja. WTO terlalu didominasi oleh kepentingan korporasi-korporasi besar dan
Negara-negara Maju, untuk menekan Negara-negara Dunia Ketiga. Hal ini berakibat
pada terjadinya kesenjangan yang teramat curam antara Negara Maju dan Negara
Berkembang.
Segelintir
Negara Maju menjadi sangat kaya raya, sedangkan banyak Negara Berkembang
semakin terjerumus ke jurang kemiskinan. Negara-negara Maju sebagai pendukung
utama WTO, secara terus-menerus memelintir realitas sosial, demi melegitimasi
dan mengokohkan berbagai kepentingan kekuasaan mereka. Upaya ini dilakukan
dengan menyodorkan berbagai macam agenda pembicaraan pada setiap pertemuan WTO,
dengan dalih untuk memperbaiki sistem yang dikatakan telah berlaku tidak adil.
Selanjutnya, hasil perundingan tersebut mereka bungkus dengan suatu perjanjian
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mereka—Negara Maju, dengan lantang juga
memberikan berbagai pernyataan kepada publik, yang memberikan basis legitimit
bagi bangunan-bangunan teoritik tawaran mereka. Mulai dari perbaikan
kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, keadilan dalam perdagangan, dll. Padahal
jika ditilik lebih dalam, mayoritas dari tawaran tersebut adalah sebuah
keniscayaan yang hanya berisi serangkain janji keadilan yang semu belaka.
Negara-negara berkembang anggota WTO cenderung mengalami
dampak negatif dari liberalisasi perdagangan, termasuk Indonesia yang telah
menjadi net-importir country beras
sejak tahun 1995. Sedangkan negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa
memperoleh manfaat yang signifikan dari WTO tersebut. Tujuan dibentuknya WTO
untuk menciptakan perdagangan bebas yang adil bagi semua negara tidak terwujud
dalam implementasinya. Liberalisasi perdagangan ini justru menciptakan ketidakadilan
bagi negara-negara berkembang. Terkait dengan akses pasar misalnya, menurut
data FAO 2006, UE menetapkan tarif barrier yang tinggi dan waktu impor yang
terbatas bagi negara-negara lain, yaitu hanya periode Maret-Agustus. Selain
itu, tingginya’initial
rate tariff’ di negara-negara maju menyebabkan produk-produk negara
berkembang ini sulit menembus pasar negara-negara maju. Hal ini pula yang
menyebabkan negara berkembang bersaing dan semakin terpuruk dalam perjanjian
WTO. Bahkan, dalam AoAHal WTO (perjanjian pertanian WTO) tidak terdapat fleksibilitas
yang memadai bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian.
Salah satu dampak WTO yang sangat memberatkan bagi
Indonesia adalah dalam bidang pertanian.Hasil penelitian
IATP (Institute of Agriculture and Trade Policy) AS menyatakan bahwa ASmelalui Bank Dunia dan WTO memaksa negara-negara berkembang untuk menurunkan
tariff dan membuka pasar
yang memudahkan MNC AS melakukan kegiatan bisnis pangan secara
global yang terutama melayani
pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penelitian IATP mendukung kondisi nyata negara-negara berkembang.
Misalnya, Indonesia yang memasukkan 4 komoditas utama dalamAoA WTO, yaitu beras, jagung, kedelai dan gula. Untuk ekspor,
Indonesia malah tidak
memberikan subsidi bagi peroduk pertanian yang diekspor karena anggaran pemerintah
yang terbatas dan
ketakberpihakanelit pemerintah terhadap petani Indonesia. Selain itu, Indonesia menetapkan tariff yang jauh lebih kecil dalamsektor pertanian daripada
yang diperkenankan oleh
WTO yang jelas merugikan
petani produsen.
Komitmen lain yang pada kenyataannya tidak sesuai dengan
klausul yang ada, adalah janji apabila subsidi ekspor dicabut dan pengurangan
tarif bea masuk, maka nilai ekspor negara-negara berkembang akan mengalami
peningkatan, bukti yang terjadi adalah kebalikannya. Dengan alasan SPS (Sanitary and Phytosanitary), negara-negara maju merancang berbagai argumen untuk
menutup pasar ekspor dari negara berkembang. Selain itu, dengan kepemilikan
tanah yang sempit, praktik bertani subsisten, dan penguasaan teknologi yang
rendah, kemungkinan petani-petani dari Dunia Ketiga untuk melakukan ekspor
sangatlah kecil.
Kebijakan penetapan tarif sampai 0% menyebabkan membanjirnya produk pertanian
impor dalam pasar negeri yang menggeser produk lokal yang kalah bersaing.
Disamping itu, masuknya benih-benih transgenik yang dibawa oleh
perusahaan-perusahaan transnasional, seperti Monsanto, yang mengakibatkan
hilangnya benih-benih lokal Indonesia.
Di satu sisi memang WTO memberikan beberapa keuntungan
bagi Indonesia dalam menjalin kerjasama internasional dalam perdagangan pada
berbagai sektor. Namun pada kenyataannya dampak yang ditimbulkan oleh besarnya
pengaruh WTO menjadikan posisi Indonesia semakin terpuruk. Besarnya pengaruh
yang diberikan menjadikan Indonesia tidak dapat dengan bebas menentukan
langkahnya sendiri dan menjadi budak dari globalisasi ekonomi yang jika ditilik
lebih jauh lebih banyak memberikan kerugian bagi Indonesia.
Akankah Indinesia tetap menjadi budak dari globalisasi ekonomi bersifat neoliberalisme yang berkedok keadilan dan kesetaraan?
*****
No comments:
Post a Comment