Wednesday, 29 May 2013

WTO terhadap Indonesia



Dahlia Irwan 


Semenjak ditandatanganinya kesepakatan mengenai perdagangan dan tarif, GATT, pada April 1994 di Marrakesh, Maroko, maka secara resmi muncullah sebuah era baru, era perdagangan bebas, yang sangat identik dengan globalisasi. Meskipun sebenarnya istilah ini sudah lumayan usang, namun kosakata globalisasi kini menjadi mantra yang mampu menghipnotis banyak orang. Banyak orang menganggap, globalisasi identik dengan perkembangan teknologi. Begitu mendengar istilah globalisasi pastilah kita selalu mengasosiasikannya dengan teknologi informasi, perusahaan multinasional, dan komunikasi via satelit. Sedangkan kalangan pemerintah, sering berkoar-koar bahwa globalisasi membawa berkah berupa modal asing, yang kemudian menjelma menjadi lapangan pekerjaan.
Globalisasi sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke lima belas. Yakni semenjak dimulainya penjelajahan bangsa-bangsa Eropa untuk mencari dunia baru, dalam kerangka imperialisme kuno. Pada perkembangannya, globalisasi mengalami transformasi bentuk, wujud, ukuran dan tujuan, meski masih dalam taraf kemiripan. Dalam dekade terakhir kata globalisasi tidak hanya menjadi konsep ilmu pengetahuan sosial dan ekonomi, tetapi juga menjadi jargon politik, ideologi pemerintah, dan hiasan bibir masyarakat awam di seluruh dunia. Globalisasi memang menjanjikan kesejahteraan bagi umat manusia, akan tetapi dalam praktiknya, globalisasi malah banyak menimbulkan ketidakadilan sosial, sebab secara ideologis, globalisasi sebenarnya berakar dari faham neoliberalisme. Globalisasi dimengerti sebagai hegemoni negara-negara modal terhadap Negara Dunia Ketiga. Guna membenarkan eksistensi dari proses global ini, secara politis globalisasi didukung oleh ideologi pasar bebas, di mana modal, tenaga kerja, dan komoditas perdagangan, bergerak tanpa hambatan fiskal antara satu negara dengan negara lainnya.
Secara legal formal, proses ini diperkuat oleh lahirnya IMF, Bank Dunia, dan WTO. WTO bertindak sebagai institusi utama proyek globalisasi, organ ini dimaksudkan untuk mengatur sistem perdagangan internasional secara masif, dengan tujuan untuk meliberalisasi pasar. Upaya ini dilakukan melalui dorongan kuat kepada anggota-anggotanya untuk terintegrasi ke dalam pasar bebas. Melalui WTO, Negara Maju memaksa Negara Berkembang untuk menerapkan kebijakan atau ideologi globalisasi dalam kebijakan nasional mereka. Agar supaya negara pemilik modal bisa dengan leluasa mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi yang ada di Negara-negara Dunia Ketiga tersebut.
WTO (World Trade Organization ) merupakan sebuah organisasi yang mengatur dasar legal sistem perdagangan multilateral dunia. WTO yang berdiri sejak tanggal 1 januari 1995 ini telah memiliki anggota sebanyak 147 negara termasuk negara Indonesia. Berdirinya WTO menghendaki adanya sebuah keterbukaan antar pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan internasional, sehingga akan dapat dihindari perilaku-perilaku curang diantara mereka. Akan tetapi, pada kenyataannya, pendirian WTO justru sekedar dimanfaatkan oleh segelintir kelompok dan negara saja. WTO terlalu didominasi oleh kepentingan korporasi-korporasi besar dan Negara-negara Maju, untuk menekan Negara-negara Dunia Ketiga. Hal ini berakibat pada terjadinya kesenjangan yang teramat curam antara Negara Maju dan Negara Berkembang.
Segelintir Negara Maju menjadi sangat kaya raya, sedangkan banyak Negara Berkembang semakin terjerumus ke jurang kemiskinan. Negara-negara Maju sebagai pendukung utama WTO, secara terus-menerus memelintir realitas sosial, demi melegitimasi dan mengokohkan berbagai kepentingan kekuasaan mereka. Upaya ini dilakukan dengan menyodorkan berbagai macam agenda pembicaraan pada setiap pertemuan WTO, dengan dalih untuk memperbaiki sistem yang dikatakan telah berlaku tidak adil. Selanjutnya, hasil perundingan tersebut mereka bungkus dengan suatu perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mereka—Negara Maju, dengan lantang juga memberikan berbagai pernyataan kepada publik, yang memberikan basis legitimit bagi bangunan-bangunan teoritik tawaran mereka. Mulai dari perbaikan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, keadilan dalam perdagangan, dll. Padahal jika ditilik lebih dalam, mayoritas dari tawaran tersebut adalah sebuah keniscayaan yang hanya berisi serangkain janji keadilan yang semu belaka.
Negara-negara berkembang anggota WTO cenderung mengalami dampak negatif dari liberalisasi perdagangan, termasuk Indonesia yang telah menjadi net-importir country beras sejak tahun 1995. Sedangkan negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa memperoleh manfaat yang signifikan dari WTO tersebut. Tujuan dibentuknya WTO untuk menciptakan perdagangan bebas yang adil bagi semua negara tidak terwujud dalam implementasinya. Liberalisasi perdagangan ini justru menciptakan ketidakadilan bagi negara-negara berkembang. Terkait dengan akses pasar misalnya, menurut data FAO 2006, UE menetapkan tarif barrier yang tinggi dan waktu impor yang terbatas bagi negara-negara lain, yaitu hanya periode Maret-Agustus. Selain itu, tingginya’initial rate tariff’ di negara-negara maju menyebabkan produk-produk negara berkembang ini sulit menembus pasar negara-negara maju. Hal ini pula yang menyebabkan negara berkembang bersaing dan semakin terpuruk dalam perjanjian WTO. Bahkan, dalam AoAHal WTO (perjanjian pertanian WTO) tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian.
Salah satu dampak WTO yang sangat memberatkan bagi Indonesia adalah dalam bidang pertanian.Hasil penelitian IATP (Institute of Agriculture and Trade Policy) AS menyatakan bahwa ASmelalui Bank Dunia dan WTO memaksa negara-negara berkembang untuk menurunkan tariff dan membuka pasar yang memudahkan MNC AS melakukan kegiatan bisnis pangan secara global yang terutama melayani pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penelitian IATP mendukung kondisi nyata negara-negara berkembang. Misalnya, Indonesia yang memasukkan 4 komoditas utama dalamAoA WTO, yaitu beras, jagung, kedelai dan gula. Untuk ekspor, Indonesia malah tidak memberikan subsidi bagi peroduk pertanian yang diekspor karena anggaran pemerintah yang terbatas dan ketakberpihakanelit pemerintah terhadap petani Indonesia. Selain itu, Indonesia menetapkan tariff yang jauh lebih kecil dalamsektor pertanian daripada yang diperkenankan oleh WTO yang jelas merugikan petani produsen.
Komitmen lain yang pada kenyataannya tidak sesuai dengan klausul yang ada, adalah janji apabila subsidi ekspor dicabut dan pengurangan tarif bea masuk, maka nilai ekspor negara-negara berkembang akan mengalami peningkatan, bukti yang terjadi adalah kebalikannya. Dengan alasan SPS (Sanitary and Phytosanitary), negara-negara maju merancang berbagai argumen untuk menutup pasar ekspor dari negara berkembang. Selain itu, dengan kepemilikan tanah yang sempit, praktik bertani subsisten, dan penguasaan teknologi yang rendah, kemungkinan petani-petani dari Dunia Ketiga untuk melakukan ekspor sangatlah kecil.
Kebijakan penetapan tarif sampai  0% menyebabkan membanjirnya produk pertanian impor dalam pasar negeri yang menggeser produk lokal yang kalah bersaing. Disamping itu, masuknya benih-benih transgenik yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan transnasional, seperti Monsanto, yang mengakibatkan hilangnya benih-benih lokal Indonesia.
Di satu sisi memang WTO memberikan beberapa keuntungan bagi Indonesia dalam menjalin kerjasama internasional dalam perdagangan pada berbagai sektor. Namun pada kenyataannya dampak yang ditimbulkan oleh besarnya pengaruh WTO menjadikan posisi Indonesia semakin terpuruk. Besarnya pengaruh yang diberikan menjadikan Indonesia tidak dapat dengan bebas menentukan langkahnya sendiri dan menjadi budak dari globalisasi ekonomi yang jika ditilik lebih jauh lebih banyak memberikan kerugian bagi Indonesia.
Akankah Indinesia tetap menjadi budak dari globalisasi ekonomi bersifat neoliberalisme yang berkedok keadilan dan kesetaraan?

*****
 

No comments:

Post a Comment