Alvian Aditya Kanzi
Dalam sejarah Indonesia, kita pernah dihadapkan pada sebuah
era “luar biasa”, orde baru kita menyebutnya. Era yang unik dengan kepemimpinan
seorang Jenderal Besar selama 3 dekade, merging partai politik besar –
besaran, hingga militerisasi build-in melalui Dwifungsi hadir dalam dua wajah
yaitu Dwifungsi teritorial dan struktural. Dwifungsi teritorial terwujud dalam
bentuk struktur birokrasi sipil dan militer yang hirarkis dan pararel dari pemerintah
pusat, propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan sampai kelurahan/ desa. Mendagri
adalah pengendali hirarki birokrasi sipil yang bertanggungjawab kepada
presiden. Pararel.dengan hirarki birokrasi sipil adalah hirarki militer dari
Dephankam/Mabes TNI, Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa. Menhankam dan
Panglima TNI adalah pengendali utama hirarkhi militer yang bertanggungjawab
pada presiden. Militer juga nimbrung dalam pengendalian pemerintahan di tingkat
kabupaten dengan tampil dalam Muspida yang terdiri dari Bupati, Dandim,
Kapolres, Kajari, dan Kepala Pengadilan. Di kecamatan juga ada Muspika yang
memberi ruang bagi Danramil dan Kapolsek untuk ikut mengontrol pemerintah dan
rakyat.
Dwifungsi skruktural hadir dalam bentuk kekaryaan TNI/Polri
atau keterlibatan mereka dalam jabatan sipil. Hampir semua jabatan sipil yang
strategis dimasuki militer baikdi wilayah eksekutif (dari gubernur sampai
dengan lurah/ kepala desa) maupun legislatif (MPR, DPR sampai DPRD II). Sebagai
contoh dari Dwi Fungsi ABRI adalah pada jabatan Wakil Gubernur Timor-timur
adalah Kolonel Infantri Suryo Prabowo, Bupati covalima Kolonel Infantri Herman
Sediono. Dalam birokrasi sipil terdapat pula Ditjen Depdagri, Ditsospol dan
Kantor Sospol sebagai aparat intelejen sipil dan aparat ideologis untuk
melakukan indoktrinasi kepada masyarakat dan regulasi terhadap aktivitas
politik dan sosial. Dwifungsi ABRI tidak hanya merambah bidang politik dan
kemasyarakatan, tapi juga sampai bidang ekonomi. Salah satu bentuk konkretnya
berupa "premanisme". Dwifungsi menjadi ancaman serius bagi
demokratisasi keamanan dan bahkan stabilitas sosial-politik. Kerangka analisis
ini bertolak belakang dengan ideologisasi Dwifungsi ABRI yang justru
mengandaikan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator. Meski pada masa Orde
Baru stabilitas nasional relatif mapan, tapi bersifat semu karena diikuti
dengan matinya demokrasi, merajalelanya kekerasan, dan kuatnya supremasi
militer, sementara elemen-elemen sipil dalam posisi lemah.
No comments:
Post a Comment