Sunday, 21 April 2013

Melupakan Titik Nol


Yulia Chaniago
1122002001


Sedikit dongeng sebagai intro. Di Minangkabau, ada sebuah legenda yang sangat tragis terjadi zaman dahulu kala, zaman ketika facebook dan twitter mungkin akan dipertanyakan sebagai “Makanan jenis apakah itu?”. Tersebutlah seorang wanita tua dan anak laki-lakinya yang bernama Malin. Hidupnya miskin. Kalau zaman sekarang kita sibuk memikirkan cara mendapatkan uang untuk membeli pulsa, supaya bisa selalu eksis di sosial media, mereka sibuk berpikir bagaimana caranya agar mendapatkan makan untuk bertahan hidup.

Sang Ibu sayang sekali pada Malin. Kemanapun pergi, Malin selalu di kundang (baca : digendong) sebagai bentuk kasih sayangnya sehingga terkenallah ia dengan sebutan Malin Kundang. Malin tumbuh besar dan mulai berpikir untuk mengubah nasib. Sebenarnya berat sekali hati Ibu membiarkan pergi merantau ke tempat yang antah-berantah baginya, namun Malin bersikeras. Maka, dengan restu sang Ibu, pergilah ia berlayar mengadu nasib.

Lalu, bam! Malin sukses di rantau orang, menjadi saudagar yang kaya raya, hartanya berlimpah, hidupnya makmur dan sejahtera, istrinya cantik luar biasa. Ketika dalam suatu kesempatan yang mengharuskan ia kembali ke kampung halamannya, ia bertemu kembali dengan Ibunya. Betapa bahagia hati sang Ibu melihat anak yang begitu dicintainya telah menjadi orang sukses. Tapi, si Malin jangankan senang bertemu kembali dengan Ibunya, mengakui wanita tua yang miskin itu sebagai Ibunya saja ia tak sudi, malu terhadap sang Istri dan merasa tinggi karena kesuksesannya.

Nah, bukankah hal ini tidak asing lagi? Meskipun mungkin sudah ribuan tahun berlalu, tapi eksistensi Malin Kundang tak pernah lenyap sampai sekarang, dalam wujud manusia-manusia lainnya. Apa itu? Ya benar, sifat durhaka. Tapi bukan itu yang saya maksud. Poinnya adalah MELUPAKAN TITIK NOL. Siapakah si Malin itu dulu? Hanya seorang anak yang miskin, yang kemana-mana selalu digendong oleh Ibu yang sangat menyayanginya, yang karena cintanya, bahkan berat hati melepas anaknya pergi merantau. Tapi ketika si Malin sukses di rantau orang, hartanya melimpah, istrinya cantik, ia dengan mudahnya melupakan sang Ibu. Bahkan merasa jijik untuk mengakui bahwa wanita tua itu adalah ibunya. Tragis?

Nah, kembali ke poin utamanya. Bukankah banyak sekali Malin Kundang di negara kita ini, terutama para pemimpinnya. Jauh-jauh hari menjelang pemilu, mereka kampanye besar-besaran, menjanjikan perubahan, mendengarkan aspirasi, kehidupan yang lebih sejahtera menanti kita apabila mereka terpilih. Aih, janji yang begitu manis dan menggoda, sukses sekali menarik simpati kita sebagai rakyat.

Tapi, setelah mereka terpilih, kita mendengarkan lagu Nidji sambil gigit jari “..mana janji manismuuu..” Kita yang merindukan banyak perubahan dan perbaikan dari pemimpin yang kita pilih itu, tapi apa yang mereka lakukan sebenarnya di singgasana mereka? Kebanyakan hanya sibuk mengisi amunisi rekening mereka demi kepentingan sendiri. Bahkan sekedar aspirasi kita saja terkadang tak mereka dengar. Padahal siapa yang telah membantunya mendapatkan jabatan itu dulu? Apalah arti mereka tanpa rakyat yang telah memilih untuk mempercayai mereka? Sekarang setelah berada di atas, mereka melupakan kita yang berada di bawah. Padahal, darimanakah mereka dulu? Dari bawah juga. Mereka telah MELUPAKAN TITIK NOL yang penting dalam hidup mereka. Tragis? Bagi kita, iya. Bagi mereka? Asssuuudahlah.

Kita sebagai generasi muda penerus bangsa, mari menjadi lebih peka terhadap hal-hal di sekitar kita. Mulai dari hal-hal yang kelihatannya sepele, padahal itu penting. Misal jika kita adalah ketua dalam suatu organisasi, ketika menjadi pemimpin dalam rapat-rapat organisasi, maka dengarkanlah jika ada anggota rapat yang memberikan pendapat, kritik, saran, masukan dll dalam rapat. Jangan karena kita adalah pemimpin, lantas merasa kitalah yang paling benar, lalu mati-matian mempertahankan argumen kita dan menjadikan posisi pemimpin sebagai tameng. Ingat titik nol kita, dan bahwa karena mereka jugalah, yang telah mempercayai dan memilih kita, maka dari titik nol tersebut, kita bergerak naik sehingga berada di posisi atas sebagai pemimpin. Lebih banyaklah mendengarkan ketimbang berbicara, karena itulah alasan mengapa kita diciptakan dengan dua telinga dan hanya satu mulut. Agar kita lebih banyak mendengar. Hargai siapapun yang bicara. Jangan lihat SIAPA YANG BERBICARA, tapi lihatlah APA YANG DIBICARAKAN. Dan yang terpenting, JANGAN PERNAH MELUPAKAN TITIK NOL kita. Karena hanya dengan begitu kita akan menjadi pribadi yang senantiasa bersyukur dan lebih menghargai orang lain, terutama sebagai pemimpin.

No comments:

Post a Comment