Friday, 7 June 2013

Indonesia Awam: UN, Pencerdasan Bersyarat atau Pemaksaan?



Tri Ade Feriyanto
1111001072

Bangga, melihat daftar peringkat di papan pengumuman, media cetak, televisi, atau internet—bahkan suara-suara gemuruh dari tetangga dan teman sekolah tentang keberhasilan menyelesaikan Ujian Nasional (UN) dengan hasil “memuaskan”. Ya, benar jika yang demikian adalah karakter Anda, adik Anda, sepupu atau anak Anda—Anda juga dimungkinkan untuk ikut merasa bangga (dengan berbagai bualan). Akan tetapi, bagaimana dengan mereka, para peserta UN yang was-was ketika mendengar kabar bahwa terjadi penurunan kelulusan pada tahun ini, terjadi perubahan sistem pembagian naskah soal (20 paket atau lebih)? Dan tidak dapat dipungkiri kenapa harus ada penyesalan menjadi seorang pelajar yang pada titik akhir tidak boleh menentang pencanangan keberlangsungan UN. Justru bagi para teladan pelajar, memastikan bahwa para pelajar diharuskan terus tumbuh dengan disuguhkan latihan-latihan soal pelajaran, bahan ajar yang berbasis silabus berintegrasi, atau mengabdi sebagai anak yang rajin dengan menghabiskan banyak waktu di sekolah ketimbang bersama keluarga?
Bukankah UN menciptakan suasana yang mensyaratkan para pelajar untuk bertindak akademis, sistematis dan konseptual terhadap kecerdasan mereka? Membicarakan tentang ketatnya pengawasan UN, tidak ada persamaan pentingya dengan mengupayakan kecurangan untuk mendapat bocoran soal. Seperti yang sudah umum terjadi di Indonesia, dewasanya banyak orang memanfaatkan sisi pengawasan yang ketat untuk dijadikan ladang bisnis. Kenapa bisa? Bukan, kenapa tidak bisa? UN menuntut para pelajar mengenali jati diri dan kepercayaan diri. Beberapa sekolah di Indonesia pasti menerapkan hal yang mendukung kecerdasan mental dan spiritual siswa. Hal ini, ditujukan bagi pentingnya rasa inisiatif diri siswa untuk membelenggu sifat tidak jujur. Secara sederhana, apa yang perlu dikhawatirkan oleh para pelaku jujur? Berlaku tidak jujur.
Namun, jika mengulas ulang pembahasan mengenai penting atau tidaknya UN di Indonesia dengan sudut pandang terbatas yang dimaksudkan agar tidak ada unsur pemaksaan dalam pelaksanaan UN. Melihat kacamata siswa sebagai peserta UN, pantaskah mereka menolak adanya UN? Seberapa besar kontribusi hak mereka terhadap program aspirasi Kementrian Pendidikan? Mengapa mereka dilayani dengan cara yang meraka secara mayoritas menerima tetapi terpaksa? Mungkin, pertanyaan ini sangat tepat sekali menjadi bahan penyudutan kepada Menteri Pendidikan dan jajarannya—pasca UN Tahun 2013 yang baru beberapa minggu dilaksanakan (terhitung dari 5 Juni 2013) di Indonesia. Karena, pada dasarnya media sebagai pemberi informasi secara langsung telah membawa suatu nilai yang menciptakan sudut pandang masyarakat kepada kinerja pemerintah tentang pengaturan pelaksanaan UN—yang berlangsung “ricuh” akibat kurangnya koordinir dan pengawasan dari pusat.
Semua orang bisa bayangkan, pada tahun 2011, 2012 atau pada tahun sebelumnya diketahui naskah UN mengalami kebocoran (secara halus). Apakah hal ini tidak disadari pemerintah sebagai bahan evaluasi yang memungkinkan untuk diadakan perubahan sistem? Tentu saja disadari. Tetapi, bersikeras untuk terus memperjuangkan kelahiran UN dengan melakukan ”improvisasi” besar-besaran. Tetapi, terlihat kah peran teknologi dalam hal ini? Ada, hanya sekedar media komunikasi (pasti). Tetapi, tidak kah pemerintah memahami kondisi mutu sekolah-sekolah di Indonesia, kualitas sumber daya manusia seperti guru dan siswa di seluruh sekolah di Indonesia? Diperhatikan, walaupun tidak semuanya masuk dalam statistik.
Sungguh pembahasan tentang kesalahan pemerintah dapat mewakili hak siswa di Indonesia untuk menolak UN. Dan inilah Indonesia awam. Suatu pendekatan dari pemikiran sederhana masyarakat Indonesia. Ketika diminta untuk menjawab pertanyaan “perlukah diadakan UN di Indonesia?”—tanpa kicauan mereka (Indonesia awam) menjawab, tidak perlu. Sebagian dari mereka melihat anak-anak mereka pergi meninggalkan rumah dan “membuang” banyak waktu di sekolah, tempat bimbingan belajar dan rumah teman untuk menyelesaikan soal-soal UN lawas. Inilah keprihatinan para Indonesia awam ini tentang karir anak-anak mereka di masa depan. Sedangkan, lebih dari sebagian Indonesia awam berpikir secara rasional bahwa memberikan izin kepada anak-anak untuk mengasah otak dengan cara mengurangi jam bersama keluarga adalah pilihan untuk mencerdasakan anak-anak (agar lulus UN dan menjadi bahan pembicaraan di acara arisan, pengajian).
Tidak lain, hal tersebut di atas telah tersangkut paut dengan kepentingan pribadi. Jelas kenyataanya terjadi suatu konversi perilaku anak-anak pada saat sebelum dan sesudah UN.
Bahasan ini, secara sengaja membawa pendekatan psikologi untuk meredam aksi keras peniadaan UN di Indonesia.
Ditinjau dari segi kerelatifan pendapat, UN merupakan suatu ancaman yang memaksa para pelajar untuk belajar lebih giat dan membuktikan garis ketegasan dari dalam diri para pelajar itu sendiri. Para pelajar tidak harus bersikeras menentang perubahan dalam sistem pelaksanaan UN (belum ada sampai saat ini)—setidaknya berlaku jujur dalam setiap kesempatan adalah nilai utama untuk meraih ketidakkhawatiran dalam menyambut UN. Meskipun pemerintah berlaku salah pada penerapan sistem.
Indonesia awam akan berkomentar tentang buruknya sistem pendidikan di Indonesia, dengan pandangan keawamanan mereka. Tetapi, tetap menerima adanya pelaksanaan UN. Menteri Pendidikan bertanggung jawab atas kelalaian tugas para staffnya, karena memegang wewenang mutlak. Para pengamat pendidikan melihat kelemahan sistem pendidikan di Indonesia sebagai kesempatan untuk mempelajari kembali nilai-nilai yang tertinggal dalam peraturan pemerintah. Dan para orang tua mendidik anak-anaknya untuk terus belajar dengan tidak hanya terpacu pada silabus suram itu. Yang secara otomatis dapat dipahami para pelajar sebagai target utama dalam bersekolah.
Dengan begitu, adanya kekurangan dalam sistem pendidikan di Indonesia—menjadikan Indonesia awam menarik kembali ucapan mengenai pemaksaan dan pencerdasan bersyarat.

No comments:

Post a Comment