Tri Ade Feriyanto
1111001072
Bangga, melihat daftar
peringkat di papan pengumuman, media cetak, televisi, atau internet—bahkan suara-suara
gemuruh dari tetangga dan teman sekolah tentang keberhasilan menyelesaikan
Ujian Nasional (UN) dengan hasil “memuaskan”. Ya, benar jika yang demikian
adalah karakter Anda, adik Anda, sepupu atau anak Anda—Anda juga dimungkinkan
untuk ikut merasa bangga (dengan berbagai bualan). Akan tetapi, bagaimana
dengan mereka, para peserta UN yang was-was ketika mendengar kabar bahwa
terjadi penurunan kelulusan pada tahun ini, terjadi perubahan sistem pembagian
naskah soal (20 paket atau lebih)? Dan tidak dapat dipungkiri kenapa harus ada
penyesalan menjadi seorang pelajar yang pada titik akhir tidak boleh menentang
pencanangan keberlangsungan UN. Justru bagi para teladan pelajar, memastikan
bahwa para pelajar diharuskan terus tumbuh dengan disuguhkan latihan-latihan
soal pelajaran, bahan ajar yang berbasis silabus berintegrasi, atau mengabdi
sebagai anak yang rajin dengan menghabiskan banyak waktu di sekolah ketimbang
bersama keluarga?
Bukankah UN menciptakan
suasana yang mensyaratkan para pelajar untuk bertindak akademis, sistematis dan
konseptual terhadap kecerdasan mereka? Membicarakan tentang ketatnya pengawasan
UN, tidak ada persamaan pentingya dengan mengupayakan kecurangan untuk mendapat
bocoran soal. Seperti yang sudah umum terjadi di Indonesia, dewasanya banyak
orang memanfaatkan sisi pengawasan yang ketat untuk dijadikan ladang bisnis.
Kenapa bisa? Bukan, kenapa tidak bisa? UN menuntut para pelajar mengenali jati
diri dan kepercayaan diri. Beberapa sekolah di Indonesia pasti menerapkan hal
yang mendukung kecerdasan mental dan spiritual siswa. Hal ini, ditujukan bagi
pentingnya rasa inisiatif diri siswa untuk membelenggu sifat tidak jujur.
Secara sederhana, apa yang perlu dikhawatirkan oleh para pelaku jujur? Berlaku
tidak jujur.
Namun, jika mengulas
ulang pembahasan mengenai penting atau tidaknya UN di Indonesia dengan sudut
pandang terbatas yang dimaksudkan agar tidak ada unsur pemaksaan dalam
pelaksanaan UN. Melihat kacamata siswa sebagai peserta UN, pantaskah mereka
menolak adanya UN? Seberapa besar kontribusi hak mereka terhadap program
aspirasi Kementrian Pendidikan? Mengapa mereka dilayani dengan cara yang meraka
secara mayoritas menerima tetapi terpaksa? Mungkin, pertanyaan ini sangat tepat
sekali menjadi bahan penyudutan kepada Menteri Pendidikan dan jajarannya—pasca
UN Tahun 2013 yang baru beberapa minggu dilaksanakan (terhitung dari 5 Juni
2013) di Indonesia. Karena, pada dasarnya media sebagai pemberi informasi
secara langsung telah membawa suatu nilai yang menciptakan sudut pandang
masyarakat kepada kinerja pemerintah tentang pengaturan pelaksanaan UN—yang berlangsung
“ricuh” akibat kurangnya koordinir dan pengawasan dari pusat.
Semua orang bisa
bayangkan, pada tahun 2011, 2012 atau pada tahun sebelumnya diketahui naskah UN
mengalami kebocoran (secara halus). Apakah hal ini tidak disadari pemerintah
sebagai bahan evaluasi yang memungkinkan untuk diadakan perubahan sistem? Tentu
saja disadari. Tetapi, bersikeras untuk terus memperjuangkan kelahiran UN
dengan melakukan ”improvisasi” besar-besaran. Tetapi, terlihat kah peran
teknologi dalam hal ini? Ada, hanya sekedar media komunikasi (pasti). Tetapi,
tidak kah pemerintah memahami kondisi mutu sekolah-sekolah di Indonesia,
kualitas sumber daya manusia seperti guru dan siswa di seluruh sekolah di
Indonesia? Diperhatikan, walaupun tidak semuanya masuk dalam statistik.
Sungguh pembahasan
tentang kesalahan pemerintah dapat mewakili hak siswa di Indonesia untuk
menolak UN. Dan inilah Indonesia awam. Suatu pendekatan dari pemikiran
sederhana masyarakat Indonesia. Ketika diminta untuk menjawab pertanyaan
“perlukah diadakan UN di Indonesia?”—tanpa kicauan mereka (Indonesia awam)
menjawab, tidak perlu. Sebagian dari mereka melihat anak-anak mereka pergi
meninggalkan rumah dan “membuang” banyak waktu di sekolah, tempat bimbingan
belajar dan rumah teman untuk menyelesaikan soal-soal UN lawas. Inilah
keprihatinan para Indonesia awam ini tentang karir anak-anak mereka di masa
depan. Sedangkan, lebih dari sebagian Indonesia awam berpikir secara rasional
bahwa memberikan izin kepada anak-anak untuk mengasah otak dengan cara mengurangi
jam bersama keluarga adalah pilihan untuk mencerdasakan anak-anak (agar lulus
UN dan menjadi bahan pembicaraan di acara arisan, pengajian).
Tidak lain, hal
tersebut di atas telah tersangkut paut dengan kepentingan pribadi. Jelas
kenyataanya terjadi suatu konversi perilaku anak-anak pada saat sebelum dan
sesudah UN.
Bahasan ini, secara
sengaja membawa pendekatan psikologi untuk meredam aksi keras peniadaan UN di
Indonesia.
Ditinjau dari segi
kerelatifan pendapat, UN merupakan suatu ancaman yang memaksa para pelajar
untuk belajar lebih giat dan membuktikan garis ketegasan dari dalam diri para
pelajar itu sendiri. Para pelajar tidak harus bersikeras menentang perubahan
dalam sistem pelaksanaan UN (belum ada sampai saat ini)—setidaknya berlaku
jujur dalam setiap kesempatan adalah nilai utama untuk meraih ketidakkhawatiran
dalam menyambut UN. Meskipun pemerintah berlaku salah pada penerapan sistem.
Indonesia awam akan
berkomentar tentang buruknya sistem pendidikan di Indonesia, dengan pandangan
keawamanan mereka. Tetapi, tetap menerima adanya pelaksanaan UN. Menteri
Pendidikan bertanggung jawab atas kelalaian tugas para staffnya, karena
memegang wewenang mutlak. Para pengamat pendidikan melihat kelemahan sistem
pendidikan di Indonesia sebagai kesempatan untuk mempelajari kembali
nilai-nilai yang tertinggal dalam peraturan pemerintah. Dan para orang tua
mendidik anak-anaknya untuk terus belajar dengan tidak hanya terpacu pada
silabus suram itu. Yang secara otomatis dapat dipahami para pelajar sebagai
target utama dalam bersekolah.
Dengan begitu, adanya
kekurangan dalam sistem pendidikan di Indonesia—menjadikan Indonesia awam
menarik kembali ucapan mengenai pemaksaan dan pencerdasan bersyarat.